BRANDA.CO.ID – Calon Anggota DPR RI nomor urut 2 dari PPP Dapil Kota Bogor dan Kabupaten Cianjur, Fathan Kamil mengunjungi kelompok tani di Kampung Tunggilis, Desa Ciputri, Kecamatan Pacet, Cianjur, Jawa Barat.
Potensi sumber daya alam berupa lahan pertanian dengan berbagai macam produk yang terhampar seluas 3 ha di bawah kaki perbukitan ini pun menarik perhatian Alumni IPB University angkatan 26 ini.
Dalam kesempatannya, Kang Fathan menyambangi kelompok tani Okiagaru Farm yang didirikan oleh tiga orang alumni yang pernah magang pertanian di negara Jepang.
Salah satu pendiri yang ditemui Kang Fathan adalah Agus Ali Nurdin yang juga alumni IPB University.
Dalam obrolan bersama Kang Fathan, Agus menceritakan perkembangan juga kendala usaha pertanian yang dijalaninya.
Ketua kelompok tani yang membina 125 kelompok ini mencurahkan beberapa persoalan. Diantaranya, program kartu tani, stok pupuk dan terkait informasi komoditi pertanian yang tidak sama dengan kebutuhan penanaman juga persoalan dalam hal mengakses pasar.
Menurut Kang Fathan, kartu tani yang dipegang oleh para petani dinilai kurang efektif karena hanya bisa memasok. Sedangkan stok pupuk yang ada pun hanya mampu memenuhi sekitar 30-40 persen kebutuhan atas lahan yang mereka miliki.
“Ini akan mengganggu tingkat produksi karena stok pupuk yang tidak sesuai dengan kebutuhan di lapangan. Jadi, kalau memang Kementerian Pertanian punya target produksi ini akan menjadi pekerjaan rumah besar bagi kementerian,” kata mantan Ketua HA IPB University ini.
Kemudian terkait sisi informasi komoditi pertanian, lanjut dia, selama ini kebanyakan petani tidak mendapat informasi yang valid terkait dengan ritme komoditi yang harus di tanam oleh petani.
“Sehingga yang terjadi kadang over production, karena mereka menanam dan memanen komoditi yang sama di waktu yang bersamaan,” tegasnya.
Itu nantinya lari ke harga, kata Fathan. Harga kemudian jatuh yang membuat para petani merugi.
Dari itu, tambah dia, harus dibangun informasi yang lebih kuat sampai ke level petani atau kelompok-kelompok tani, sehingga mereka bisa mengatur ritme komoditi jadi terukur.
Semisal petani di wilayah kecamatan A menanam cabai. Kemudian dari situ dilihat produksi komoditi itu cukup apa tidak untuk memenuhi kebutuhan. Kalau cukup maka di wilayah kecamatan lain menanam tanaman jenis lain.
“Nah, ini harus diatur oleh para pengambil keputusan, para stakeholder yang ada di kedinasan maupun di Kementrian Pertanian,” ujarnya.
Kemudian yang terakhir, sambung Kang Fathan, bagaimana mereka bisa mengakses pasar yang lebih luas. Ini penting karena tidak semua petani bisa menjual langsung ke pasar yang akhirnya mereka harus melalui tengkulak.
Produk mereka kebanyakan dibeli oleh para tengkulak dengan harga yang sangat minimalis. Dengan harga minimalis itu, daya beli yang diterima petani menjadi rendah.
Belum lagi problem pembayaran dimana pembayaran itu di lakukan satu bulan setelah delivery atau bahkan dua bulan setelah delivery.
Dari masa tanam hingga panen saja mereka sudah menunggu berbulan bulan.
“Ini ditambah lagi dengan pembayaran yang dilakukan 1-2 bulan setelah pengiriman. Itu yang membuat kesejahteraan petani tidak bisa terangkat,” tegasnya.
Pihaknya akan coba untuk mengusulkan agar dibuat lembaga penjaminan pembayaran yang dibentuk oleh Kementerian Pertanian, supaya begitu komoditi di delivery sampai ke konsumen bisa langsung dibayar oleh lembaga jaminan itu.
Sementara lembaga penjaminan ini menunggu pembayaran dari para konsumen akhir tersebut. Diharapkan proses ini mampu menjembatani keinginan para petani sehingga bisa meningkatkan kesejahteraan petani.
“Jadi, ini menjadi catatan buat saya. Nanti saya akan saya coba ikhtiarkan untuk bisa saya komunikasikan dengan stakeholder utama di Kementrian Pertanian dalam hal ini adalah menteri pertanian,” tutupnya. (**)