BRANDA.CO.ID – Kisah Siti Nurbaya adalah salah satu cerita rakyat yang paling dikenal dan dicintai di Indonesia, terutama di Sumatera Barat.
Lebih dari sekadar romansa tragis antara Siti Nurbaya dan Samsul Bahri, cerita ini juga menyimpan kritik sosial yang mendalam terhadap adat dan kekuasaan pada masanya.
Siti Nurbaya, seorang gadis cantik dan berbudi luhur, adalah putri Bagindo Sulaiman, seorang pedagang kaya di Padang. Ia menjalin kasih dengan Samsul Bahri, putra Sutan Mahmud Syah, seorang penghulu terkemuka.
Cinta mereka yang tulus dan murni harus menghadapi kenyataan pahit ketika ayah Siti terlilit hutang besar pada Datuk Maringgih, seorang rentenir kaya dan licik.
Dalam keputusasaan, Bagindo Sulaiman terpaksa menjanjikan Siti untuk dinikahi oleh Datuk Maringgih sebagai pelunasan hutang. Siti, dengan berat hati dan demi menyelamatkan ayahnya, menerima perjodohan yang tidak diinginkannya.
Pernikahan paksa ini menjadi awal dari penderitaan Siti. Datuk Maringgih, dengan kekayaan dan kekuasaannya, memperlakukan Siti Nurbaya dengan buruk dan sewenang-wenang.
Sementara itu, Samsul Bahri yang patah hati meninggalkan Padang untuk melanjutkan pendidikannya di Batavia (Jakarta). Kabar pernikahan Siti membuatnya hancur, namun ia tidak mengetahui kebenaran di balik pengorbanan kekasihnya.
Tragedi mencapai puncaknya ketika Siti Nurbaya meninggal dunia karena diracun oleh kaki tangan Datuk Maringgih. Kematian Siti memicu kemarahan Samsul Bahri.
Setelah menyelesaikan pendidikannya, ia kembali ke Padang dan terlibat dalam pemberontakan melawan pemerintah kolonial Belanda yang juga melibatkan Datuk Maringgih.
Dalam sebuah pertempuran sengit, Samsul Bahri berhasil mengalahkan Datuk Maringgih, namun ia sendiri terluka parah dan akhirnya meninggal dunia menyusul kekasihnya.
Kisah ini yang pertama kali dibukukan dalam novel karya Marah Rusli pada tahun 1922 dengan judul “Sitti Nurbaya: Kasih Tak Sampai”, bukan hanya sekadar cerita cinta yang berakhir tragis.
Lebih dari itu, cerita ini adalah representasi dari ketidakadilan sosial, penindasan terhadap perempuan, dan kritik terhadap praktik perjodohan paksa yang marak terjadi pada masa itu.