BRANDA.CO.ID – Oncom, salah satu makanan fermentasi tradisional Indonesia, khususnya Jawa Barat, memiliki sejarah panjang yang menarik. Awalnya sering dianggap sebagai produk limbah, kini ia telah menjadi santapan yang dihargai dengan beragam olahan lezat.
Sejarah oncom tidak bisa dilepaskan dari tradisi masyarakat Sunda, dalam memanfaatkan sumber daya semaksimal mungkin. Konon, makanan ini lahir dari kebutuhan untuk mengelola sisa-sisa bahan baku makanan yang tidak terpakai, terutama dari tahu atau tempe.
Ampas kedelai yang tersisa setelah diolah menjadi tahu, atau bungkil kacang tanah sisa pembuatan minyak, dulunya sering dibuang begitu saja sebelum menjadi oncom.
Namun, dengan kreativitas dan pengetahuan turun-temurun, masyarakat Sunda menemukan cara untuk “menghidupkan” kembali limbah ini. Proses fermentasi menjadi kunci utama.
Ampas-ampas ini diolah kembali dengan bantuan jamur khusus, seperti Neurospora sitophila untuk oncom merah/jingga, atau Rhizopus oligosporus untuk oncom hitam.
Fermentasi ini tidak hanya mengubah tekstur dan rasa, tetapi juga meningkatkan nilai gizi dan keamanan pangan dari limbah tersebut.
Ini adalah contoh luar biasa dari bioteknologi sederhana yang diterapkan oleh masyarakat tradisional, untuk mencapai ketahanan pangan.
Dari dapur-dapur sederhana di pedesaan Jawa Barat, popularitas makanan ini pun mulai menyebar. Awalnya, ia hanya diolah secara sederhana, seperti digoreng atau dibakar.
Namun, seiring waktu, masyarakat mulai berinovasi dan menciptakan berbagai variasi olahan oncom yang menggugah selera. Beberapa olahan yang paling ikonik adalah combro, pais oncom, oncom goreng tepung, dan masih banyak lagi.