Refleksi Pasca Gerakan Rakyat : Kemandegan Fungsi dan Nilai Pemerintah

Ismat Nasrulloh / Alumni STISIP Guna Nusantara Cianjur
Facebook
Twitter
WhatsApp
Telegram

PENULIS : Ismat Nasrulloh / Alumni STISIP Guna Nusantara Cianjur

 

Peristiwa gerakan aksi massa pada akhir Agustus 2025 lalu membuat banyak pihak terkejut. sehingga taksalah jika kita merefleksikan apa yang terjadi belakangan ini.

Terlepas dari isu siapa dalang atau aktornya, kita melihat bahwa kejadian yang berlangsung di minggu-minggu terakhir sebagian besar bersifat organik, dipicu oleh ketidakstabilan politik, sosial, dan ekonomi, sehingga memunculkan luapan amarah yang mengkristal dari rakyat Indonesia.

Sebagai orang yang pernah menempuh pendidikan dengan disiplin ilmu pemerintahan, saya melihat sangat penting untuk merefleksikan kembali prinsip-prinsip dasar pemerintahan.

pasalnya, bisa jadi variabel yang membuat hal itu terjadi akibat kemandekan, sistim pemerintahannya, baik dalam tataran praktik maupun dalam penghayatan nilai.

Jika ditinjau dari tata kelola negara, kita sama-sama mengetahui bahwa untuk mengatur, mengolah, dan mengurus urusan rakyat sesuai amanah konstitusi, terdapat sistem yang dianut di dalam sistem pemerintahan kita, yaitu trias politica yang diperkenalkan oleh John Locke dan Montesquieu.

Menurut John Locke dan Montesquieu, substansi trias politica adalah adanya sistem kontrol kekuasaan, dimana setiap pilar kekuasaan saling mengawasi untuk mencegah kesewenang-wenangan.

Dalam keadaan ideal, Legislatif berfungsi memberikan prodak hukum dan kebijakan yang mengindahkan hak hak kemanusiaan, menganggarkan penggunaan kas negara untuk kepentingan dan kesejahteraan rakyat, serta melakukan kontrol pelaksanaan kebijakan maupun penyerapan anggaran terhadap eksekutif.

Kemudian, Eksekutif berperan melaksanakan apa-apa yang sudah menjadi kesepakatan musyawarah berdasarkan keterwakilan di legislator, baik sebagai pengguna anggaran, maupun kebijakan.

Sementara yudikatif menjamin suprimasi hukum bagi keseluruhan institusi atau pilar pemerintahan, bahkan dalam terdapat pelanggaran pelanggaran penggunaan anggaran dan lain-lain.

Sistem tersebut kemudian berusaha menafsirkan Pancasila pada sila keempat disebutkan bahwa konsepsi kepemimpinan di Indonesia adalah “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.”

Amanat kedaulatan rakyat yang tercantum dalam UUD 1945 Pasal 1 Ayat 2 menegaskan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut undang-undang.

Kedaulatan itu kemudian diwujudkan melalui sistem perwakilan yang diberikan kepada pemimpin yang dipilih secara demokratis dalam sistem pemilu.

Amanat lain yang menjadi bentuk kedaulatan negara sebagai negara hukum juga jelas dalam UUD 1945 Pasal 1 Ayat 3, bahwa Negara indonesia adalah negara hukum.

Artinya, peran yudikatif juga sangat penting, serta aturan-aturan lain yang mendasari kepastian sistem tataklola negara indonesia yang baik sesuai amanah konstitusional.

Namun, apa yang terjadi belakangan ini justru menunjukkan adanya kemandekan sistem, dimana sebagian kepemimpinan nasional tidak mengindahkan prinsip-prinsip trias politica.

Dari dasar itu, ketika muncul adagium di masyarakat atau di sosial media yang mengatakan, “Negara sedang tidak baik-baik saja,” maka jelas ada sistem yang tidak berjalan secara normatif maupun substantif dalam pelaksanaan prinsip trias politica.

Salah satu yang menjadi pemicu dan sangat nampak disoroti masyarakat belakangan ini diantaranya fungsi legislasi, yang akan saya coba urai.

Pertama, Legislatif sebagai pembuat legislasi. dalam pungsi ini sebagaimana saya uraikan diatas, seharusnya para pemangku kekuasaan dan perwakilan rakyat, sangat memperhatikan kepentingan rakyat sebagaimana dimandatkan, namun dalam kenyataannya tidak mampu menghasilkan aturan yang memadai untuk kesejahteraan rakyat.

Kedua Legislatif sebagai fungsi budgeting. dalam praktiknya secara subjektif kita menilai sering tidak berpihak pada kepentingan ekonomi rakyat, melainkan lebih dominan mengakomodasi kepentingan elit dan pengusaha oligarki.

Ketiga Legislatif sebagai fungsi kontrol pun melemah ketika eksekutif tidak menghargai perbedaan dalam pengambilan keputusan. Sebaliknya, eksekutif sering memaksakan kebijakan tunggal.

Contohnya di Jawa Barat, fungsi eksekutif justru mendominasi peran legislatif, bahkan cenderung dikendalikan sesuai kepentingan gubernur saat itu, Dedi Mulyadi.

Program-program eksekutif dianggap berhasil oleh sebagian masyarakat yang terjebak menjadi masyarakat post-truth, sehingga kewenangan DPRD seakan tidak lagi berfungsi optimal.

Jika ditarik ke daerah, misalnya di Cianjur, sebagai Refleksi Tata Kelola Daerah

Dalam amanat UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, ditegaskan bahwa setiap daerah memiliki otonomi untuk mengatur dan mengurus urusannya sendiri sesuai kebutuhan rakyat.

Muncul pertanyaan sederhana misalnya:

* Seberapa intens DPRD menyerap aspirasi rakyat, dan mendengar suara dan keluhan rakyat terutama menyangkut ekonomi kerakyatan, pengangguran dan standar pelayanan minimum daerah?

* Seberapa sering DPRD dan eksekutif melakukan rapat bersama, dan menyertakan pemangku kepentingan lainnya seperyi LSM, NGO, Organisasi Kemasyarakatan, Kepemudaan, Kemahasiswaan, Buruh, Petani, Ojol?

* Apakah semua pilar demokrasi dilibatkan dalam pengambilan keputusan?

* Berapa banyak perda dan kebijakan yang dihasilkan pemerintah daerah, dan apakah benar-benar berpihak pada rakyat kebanyakan atau hanya segelintir orang?

Oleh karena itu, langkah yang perlu kita dorong adalah memastikan sistem pemerintahan yang menganut asas kedaulatan rakyat benar-benar memperhatikan hak-hak kemanusiaan dalam setiap pengambilan kebijakan.

Beberapa poin penting yang harus ditegakkan:

1. Pastikan anggota legislatif benar-benar menyerap aspirasi masyarakat secara substantif, bukan sekadar formalitas.

2. Pastikan keluhan masyarakat dapat ditampung melalui lembaga yang terbuka, misalnya forum aspirasi rakyat yang bisa diakses kapan saja oleh semua lapisan masyarakat terbawah yang difasilitasi oleh DPRD Cianjur.

3. Pastikan kebijakan eksekutif tepat sasaran sesuai hasil musyawarah. dengan katalain fungsi kontrol dari DPRD dan penegak hukum.berjalan dengan optimal.

4. Pastikan produk hukum legislatif dapat diakses secara transparan, terutama dalam fungsi budgeting.

Jangan sampai, trias politika sekarang ini jadi tritunggal yang kesemua pilarnya mendukung kesewenang wenangan, dan masyarakat hanya bisa menyaksikan eksekutif jadi pemain utama, legilatif hanya jadi sondhoreg, yudikatif yang harusnya menegakan suprimasi hukum malah jadi alat untuk kekuasaan. wallohualam.

Demikian refleksi ini saya sampaikan. Tentu masih banyak kritik dan kekurangan. Sangat besar harapan saya untuk melanjutkan diskusi bersama demi memperbaiki keadaan. terutama dengan para dewan yang terhormat.

Hormat saya, untuk para legislator yang terhormat. ***

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Add New Playlist