Dari Kopi Sukabumi ke Politik Global: Membaca Trump dan Dunia yang Setara

Diskusi sore Ratna Istianah Dosen Administrasi Publik, Universitas Muhammadiyah Sukabumi dan Ketua Sukabumi Sukabuku bersama dua rekan. (Foto: Ist)
Facebook
Twitter
WhatsApp
Telegram

Penulis: Ratna Istianah (Dosen Administrasi Publik, Universitas Muhammadiyah Sukabumi dan Ketua Sukabumi Sukabuku)

Sore itu di Sukabumi, sambil menatap pohon bambu kuning yang bergoyang pelan tertiup angin, penulis meneguk kopi americano hangat.

Suasana teduh itu berbanding terbalik dengan topik obrolan bersama dua kolega di Universitas Muhammadiyah Sukabumi, Rizki Hegia Sampurna, Ph.D, dan Rizal Amirullah, M.K.P.

Nama yang muncul dalam percakapan sore itu adalah sosok yang tak pernah sepi dari kontroversi di panggung dunia: Donald Trump.

Diskusi berawal dari pertanyaan Rizal Amirullah yang menyinggung soal Palestina.

“Mengapa Trump tampak berbeda dengan warganya sendiri, yang banyak bersimpati kepada Palestina?” tanyanya sambil menatap jauh, seolah mencari jawaban di balik hiruk pikuk politik global.

Rizki Hegia Sampurna menanggapi dengan tenang. “Dalam hukum internasional, semua negara itu setara. Itu prinsip dasar dalam Piagam PBB. Tapi dalam praktik, yang kuat tetap lebih dominan. Jadi meski publik Amerika banyak bersimpati kepada Palestina, keputusan politik Trump menunjukkan bagaimana negara adidaya menggunakan posisinya untuk mendukung sekutu strategisnya, yaitu Israel. Kesetaraan hanya berlaku di atas kertas, realitasnya penuh ketimpangan.”

Trump memang bukan presiden yang “biasa”. Ia datang dari panggung bisnis dan televisi, bukan jalur politik konvensional.

Slogan keras Make America Great Again dibawanya dengan gaya populis yang frontal, jauh dari sikap diplomatis khas presiden Amerika sebelumnya.

Penampilannya yang nyeleneh, disertai kebijakan luar negeri yang tak terduga, membuat banyak orang menganggapnya anomali dalam sistem internasional modern.

Di bawah kepemimpinannya, Amerika Serikat menarik diri dari Perjanjian Paris tentang perubahan iklim, keluar dari WHO di tengah pandemi, hingga meremehkan NATO.

Langkah-langkah itu membuat sekutu kehilangan kepercayaan. “Trump itu anomali,” ujar Rizki. “Mungkin ia justru menyingkap realitas politik global yang selama ini berjalan dalam logika transaksi.”

Percakapan sore itu makin hangat ketika Rizki menambahkan refleksi soal kekuatan global. “Kalau bicara hard power dan soft power, Amerika dan China berbeda jalan. Amerika masih dominan dalam militer dan ekonomi, tapi soft power-nya makin terkikis di era Trump. Sebaliknya, China gencar mengombinasikan investasi, teknologi, dan budaya sebagai daya tarik, sambil tetap membangun kekuatan militer. Jadi, keduanya sama-sama besar, tapi caranya berbeda.”

Kontras itu memperlihatkan dinamika geopolitik baru. Amerika, yang selama puluhan tahun mengandalkan kombinasi kekuatan militer dan legitimasi moral, mulai kehilangan daya tarik kultural nya.

Sementara China memperluas pengaruh lewat jalur yang lebih halus: kerja sama ekonomi, proyek infrastruktur, dan diplomasi kebudayaan.

Trump sendiri lihai memainkan hard power. Sanksi ekonomi terhadap Iran dan Korea Utara, hingga retorika keras dalam perang dagang dengan Tiongkok, menjadi bukti.

Namun pada saat yang sama, ia justru merusak soft power Amerika. Joseph Nye pernah menegaskan bahwa kekuatan terbesar AS bukan semata pada militernya, melainkan juga pada daya tarik budaya dan nilai demokrasi.

Indonesia pun punya pengalaman langsung dengan soft power Amerika ini. Banyak tokoh nasional yang belajar di sana kemudian kembali dengan sikap kritis terhadap politik global maupun domestik.

Amien Rais, misalnya, yang pernah menempuh pendidikan di University of Chicago, dikenal sebagai tokoh reformasi yang berani menentang status quo Orde Baru.

Fahri Hamzah, yang sempat studi di Universitas Missouri, tumbuh menjadi politisi dengan gaya lantang dan kritis.

Anies Baswedan, yang menempuh studi di Northern Illinois University, juga kerap mengartikulasikan gagasan kritis tentang demokrasi, kepemimpinan, dan keadilan sosial.

Mereka adalah contoh bagaimana soft power pendidikan Amerika bisa melahirkan tokoh yang tidak sekadar meniru, melainkan berani bersikap kritis terhadap dominasi global.

Namun, di era Trump, soft power itu mengalami kemunduran. Retorika anti-imigran, kebijakan proteksionis, dan sikap merendahkan sekutu membuat dunia melihat Amerika bukan lagi panutan moral, melainkan sekadar adidaya egois.

Rizal menambahkan bahwa fenomena Trump juga memperlihatkan jarak antara negara dan rakyatnya sendiri. “Banyak warga Amerika, terutama generasi muda, sadar bahwa kebijakan luar negeri negaranya tidak selalu sejalan dengan nilai kemanusiaan yang mereka yakini. Lihat saja soal Palestina, publik AS semakin vokal, tapi pemerintahannya di era Trump justru kian condong pada Israel,” ujarnya.

Pernyataan itu menegaskan paradoks: demokrasi terbesar di dunia bisa saja diwakili pemimpin yang kebijakannya berlawanan dengan opini publik domestik.

Sambil menyeruput kopi americano yang mulai mendingin di meja, penulis teringat guru menulisnya, Adi Arwan Alimin, wartawan senior dari Sulawesi Barat sekaligus tokoh literasi yang menginisiasi penulis mendirikan komunitas literasi Sukabumi Sukabuku.

Dari beliaulah penulis belajar bahwa menulis feature bukan sekadar menyampaikan fakta, melainkan menghadirkan rasa.

Dari bambu kuning yang bergoyang, aroma kopi yang menenangkan, hingga percakapan sore yang penuh tanya, semuanya adalah bingkai cerita yang bisa menghidupkan analisis politik yang kerap terasa kaku.

Diskusi sore itu berakhir bukan dengan jawaban, melainkan dengan pertanyaan. Apakah Trump sekadar anomali sesaat yang segera dilupakan, atau justru tanda babak baru tatanan dunia? Sebuah era ketika multilateralisme melemah, soft power meredup, dan politik transaksional tampil sebagai wajah utama hubungan internasional.

Pertanyaan itu menggantung, sebagaimana desir angin di sela bambu kuning. Ia mengingatkan bahwa politik global tidak pernah diam: ia selalu bergerak, bergeser, bahkan berguncang. Dan mungkin, dalam setiap guncangan itulah kita belajar membaca ulang makna kekuasaan dan kesetaraan di panggung dunia.***

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Add New Playlist