Pasukan Belanda memburunya siang dan malam. Nama Kapten Harun Kabir menjadi mimpi buruk bagi pasukan Belanda di Bogor, Cianjur dan Sukabumi. Dia memimpin tim demolisi yang menghancurkan obyek vital yang dikuasai Belanda.
BRANDA.CO.ID – SEJARAH
Harun Kabir sejatinya adalah seorang birokrat sipil. Dia pernah menjadi asisten residen Bogor yang membawahi bagian keuangan. Namun Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945 membuat api semangat berkobar di mana-mana.
Sesaat setelah proklamasi, Harun Kabir membentuk Laskar Tjiwaringin 33. Nama itu diambil dari alamat rumah Harun Kabir di Kota Bogor, Jalan Ciwaringin 33.
Di rumah inilah, keluarga Presiden Soekarno pernah berlindung di awal revolusi. Sejumlah tokoh bangsa seperti Tan Malaka pun kerap bertandang ke rumah ini.
Harun Kabir juga yang melindungi orang-orang Eropa dan Indo di saat situasi keamanan tidak menentu. Di rumahnya, Harun menampung orang-orang tersebut dan melindunginya. Saat itu orang Eropa dan Indo menjadi target perampokan para perampok yang berkedok laskar. Menurutnya Proklamasi bukan hanya soal kemerdekaan, tapi juga soal kemanusiaan.
Harun Kabir sempat didapuk menjadi Kepala Staf Brigade Suryakencana di bawah Divisi Siliwangi. Dia sempat meraih pangkat mayor dalam TNI, namun saat itu ada aturan yang mengharuskan pangkat turun satu tingkat. Harun Kabir pun menjadi kapten.
Kapten Harun Kabir memimpin sejumlah pasukan gerilya. Dia meledakkan berbagai obyek vital untuk melawan Belanda. Dari Bogor, Harun Kabir dan keluarganya menyingkir ke Sukabumi, kemudian ke wilayah Cianjur untuk terus bergerilya.
Di tengah penyakit malaria yang dideritanya, Harun Kabir masih terus memimpin gerilya.
Hingga, dini hari 13 November 1947, pasukan Belanda menggedor sebuah gubuk di Hutan Cihurang, pedalaman Cianjur. Di dalam rumah itu, ada Kapten Harun Kabir dan anak istrinya.
Dengan Tenang Kapten Harun Kabir keluar menemui para serdadu Belanda. Dia langsung diikat, dan dibariskan bersama dua pengawalnya. Sesaat kemudian, para prajurit itu memberondongkan senjata tanpa ampun pada tiga pejuang Republik Indonesia tersebut.
Harun Kabir dieksekusi mati di depan istri dan ketiga putrinya. Sebelum gugur, dia masih meneriakkan kata-kata: Merdeka!
Harun Kabir sempat dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Cianjur, kemudian dipindahkan ke pemakaman Ciandam Sukabumi sesuai pesannya,
*Pejuang Kemanusiaan di Tengah Revolusi*
Dalam rangka rangkaian Peringatan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia, bedah buku Demi Republik, Perjuangan Kapten Harun Kabir 1942-1947 digelar di Gedung Pertemuan Pendopo Kabupaten Sukabumi, Sabtu (10/8/2024).
Bedah buku tersebut menghadirkan penulis buku Hendi Jo, Sejarawan Nasional Profesor DR Anhar Gonggong dan Hendy Faizal dari Sukabumi Heritage.
Menurut Hendi Jo, Harun Kabir menolak segala tindakan kejam dan penyerangan terhadap warga sipil yang tidak bersenjata. Apalagi wanita dan anak-anak. Di tengah revolusi, dia justru menolong orang Indo dan Eropa yang membutuhkan pertolongan. Ini teladan yang menurutnya langka dari seorang komandan gerilya saat itu.
“Dia adalah manusia langka di zamannya. Dengan bakat kepemimpinan yang baik, dan lurus, Harun Kabir tetap berusaha ‘waras’ di tengah badai revolusi. Dia tidak membiarkan dirinya larut, namun terus memelihara sikap sendiri,” kata Hendi Jo, penulis buku Demi Republik, Perjuangan Kapten Harun Kabir 1942-1947, yang diterbitkan Mata Padi.
“Harun Kabir selalu berkata, kalau kita tidak manusiawi, lalu apa bedanya kita dengan para penjajah yang kita perangi?”
Sejarawan Nasional Prof. DR. Anhar Gonggong turut dihadirkan menjadi pembicara dalam bedah buku. Beliau menilai sosok Harun Kabir dan keluarganya memiliki ketabahan luar biasa. Soekrati, Istri dan anak-anak Harun Kabir, harus melihat dari dekat bagaimana ayahnya dieksekusi dari jarak dekat oleh tentara Belanda.
“Harun Kabir mengorbankan masa depannya. Mengorbankan hidupnya untuk keluarganya. Untuk kita semua yang hari ini bisa duduk di sini sebagai orang-orang yang merdeka,” kata Anhar.
Sementara Hendy Faizal, yang akrab disapa Kang Egon, menuturkan jika Harun Kabir dan keluarga mewariskan nilai-nilai luhur yang layak diteladani hingga saat ini. Mulai dari egaliter, pengorbanan, hingga kesetaraan gender.
“Kita sekarang bicara tentang nilai-nilai itu, tapi Ibu Soekrati, istri dari Kapten Harun Kabir sudah melakukannya sejak dulu,” kata Kang Egon.
Acara bedah buku ini terselenggara atas kerja sama Sukabumi Heritage, Ikatan Alumni ITB Sukabumi Raya, Taruna Harun Kabir (Tahaka), Yayasan Historika, Pemerintah Kota Sukabumi, dan Pemerintah Kabupaten Sukabumi. (Rls)