BRANDA.CO.ID – Massopo Bola, salah satu warisan budaya yang memukau dan masih lestari, merupakan tradisi gotong royong memindahkan rumah panggung khas suku Bugis.
Massopo Bola tidak hanya menunjukkan kekuatan persatuan dan kebersamaan, tetapi juga menjadi cerminan identitas dan kearifan lokal masyarakat Sulawesi Selatan, khususnya di daerah pedesaan seperti Kecamatan Libureng, Kabupaten Bone.
Massopo Bola adalah sebuah ritual kolektif yang biasanya dilakukan pada hari Jumat, setelah pelaksanaan salat Jumat. Momen ini dipilih karena dianggap waktu yang baik untuk memulai kegiatan besar, serta memungkinkan partisipasi banyak pria dewasa yang pada umumnya tidak memiliki aktivitas pertanian atau pekerjaan lain di siang hari Jumat.
Persiapan praktek ini dimulai dengan perencanaan matang yang melibatkan pemilik rumah, keluarga besar, serta pihak pemerintah setempat dan tokoh masyarakat.
Pengumuman mengenai rencana pemindahan rumah disebarluaskan kepada seluruh warga desa, mengundang mereka untuk turut serta dalam kegiatan gotong royong ini.
Sebelum prosesi dimulai, seluruh peserta berkumpul untuk menyantap hidangan yang telah disiapkan oleh pemilik rumah. Momen ini dikenal dengan sebutan “mappano’i” atau makan bersama, yang bertujuan untuk mempererat tali silaturahmi.
Setelah makan bersama, seluruh isi rumah dikeluarkan. Perabotan, barang-barang pribadi, hingga peralatan rumah tangga dipindahkan ke tempat yang aman, agar tidak rusak selama proses pemindahan.
Kemudian, pemasangan bambu penyangga. Bambu adalah elemen kunci dalam Massopo Bola. Bambu-bambu panjang dan kuat dipotong sesuai ukuran dan kemudian diikatkan pada tiang-tiang utama rumah panggung.
Bambu ini berfungsi sebagai penyangga dan pegangan bagi para pengangkat, sekaligus menjadi tumpuan di bahu mereka saat mengangkat rumah.
Lalu, seorang tetua adat atau kepala desa yang dihormati biasanya ditunjuk sebagai pemimpin atau “panrita” dalam prosesi ini.
Dialah yang akan memberikan aba-aba dan komando yang serentak, mengatur irama langkah dan kekuatan para pengangkat. Sebelum pengangkatan dimulai, biasanya diawali dengan doa bersama yang dipimpin oleh imam desa, memohon kelancaran dan keselamatan selama proses pemindahan.
Setelah itu, dilakukanlah pengangkatan dan pemindahan. Hanya pria dewasa yang terlibat dalam pengangkatan rumah. Dengan semangat kebersamaan, mereka bahu-membahu mengangkat rumah secara perlahan dan teratur menuju lokasi baru yang telah ditentukan.
Teriakan semangat sering terdengar di antara para peserta, menjadi penyemangat dan pengatur ritme agar gerakan tetap kompak. Proses ini membutuhkan kekuatan fisik, koordinasi yang baik, dan kerja sama tim yang solid.
Jika rumah berhasil dipindahkan dan diletakkan di lokasi yang baru, para peserta kembali ke titik awal untuk kembali menyantap hidangan yang telah disiapkan oleh para wanita.