Oleh : Ratna Istianah, Dosen Prodi Administrasi Publik Universitas Muhammadiyah Sukabumi dan Sekretaris
Eksekutif Poros Pemikiran dan Partisipasi Publik Indonesia.
Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) untuk mendiskualifikasi sejumlah calon kepala daerah dalam Pilkada 2024 kembali mengguncang arena politik nasional. Putusan ini tidak hanya berdampak pada calon yang terkena sanksi, tetapi juga mempengaruhi dinamika demokrasi dan kepercayaan publik terhadap proses Pemilihan kepala daerah (Pilkada).
Fenomena ini memunculkan berbagai pertanyaan: apakah keputusan tersebut benar-benar menegakkan aturan hukum, atau justru menambah ketidakpastian politik di tingkat daerah?
Diskualifikasi dalam kontestasi politik bukanlah hal baru. Namun, ketika keputusan ini diambil menjelang pelantikan kepala daerah, implikasinya jauh lebih kompleks.
Para pendukung kandidat yang terkena sanksi cenderung merasa kecewa dan meragukan netralitas penyelenggara pemilu.
Di sisi lain, keputusan ini juga menegaskan bahwa regulasi dalam pemilihan harus ditegakkan secara ketat guna mencegah calon bermasalah memimpin daerah.
Salah satu faktor utama yang menyebabkan diskualifikasi adalah pelanggaran administratif dan etik yang dilakukan oleh calon kepala daerah.
Banyak kasus menunjukkan bahwa kandidat yang didiskualifikasi terlibat dalam sengketa hukum, termasuk penggunaan dokumen yang tidak sah atau pelanggaran terhadap ketentuan pencalonan.
Ini menjadi bukti bahwa partai politik masih kurang selektif dalam mengusung calon, lebih mengutamakan popularitas dibandingkan integritas.
Keputusan MK yang diumumkan pada 24 Februari 2025 dalam perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Kepala Daerah (PHPUkada) menegaskan bahwa sejumlah calon kepala daerah terbukti melakukan pelanggaran yang berpotensi mencederai prinsip demokrasi.
Dalam putusan tersebut, MK menyoroti berbagai bentuk pelanggaran, mulai dari politik uang hingga manipulasi data administrasi pencalonan. Hal ini menjadi preseden penting dalam memperketat regulasi pilkada agar lebih akuntabel dan transparan.
Putusan ini juga berdampak pada beberapa calon kepala daerah yang akhirnya didiskualifikasi. Di Kabupaten Tasikmalaya, calon Bupati Ade Sugianto tidak dapat melanjutkan pencalonannya karena telah menjabat selama dua periode berturut-turut, sehingga tidak memenuhi syarat untuk kembali maju.
Pencalonan petahana Ade Sugianto dinilai tidak memenuhi ketentuan yang diatur pada Pasal 7 ayat (2) huruf n UU Nomor 10 Tahun 2016.
Di Kabupaten Gorontalo Utara, Ridwan Yasin terpaksa mundur dari kontestasi karena masih dalam masa percobaan hukuman terkait kasus hukum yang menjeratnya.
Sementara itu, di Kabupaten Halmahera Selatan, Amrullah S. Kasim Almahdaly gagal melanjutkan pencalonan karena belum memenuhi masa jeda lima tahun setelah menjabat sebagai kepala daerah sebelumnya.
Di Provinsi Papua, calon Wakil Gubernur Yermias Bisai dari pasangan calon nomor urut 1 juga didiskualifikasi karena terbukti melakukan pelanggaran administratif serius yang mencederai integritas pemilihan.
Hal serupa terjadi di Kota Palopo, di mana Trisal Suparman dinyatakan tidak memenuhi syarat pencalonan karena ijazah yang digunakannya tidak dapat dipastikan keasliannya.
Keputusan diskualifikasi ini diambil oleh MK setelah melalui proses persidangan yang mendalam, dengan tujuan menjaga integritas dan kualitas pemilihan kepala daerah di Indonesia.
Di sisi lain, putusan MK seharusnya menjadi pembelajaran bagi penyelenggara pemilu agar lebih tegas dalam tahap verifikasi awal. Jika proses seleksi dilakukan dengan cermat sejak awal, maka peluang bagi kandidat bermasalah untuk maju dalam pilkada bisa diminimalisir.
Selain itu, transparansi dalam setiap tahapan pilkada harus ditingkatkan agar publik bisa memahami dasar hukum dari setiap keputusan yang diambil.
Dampak dari diskualifikasi ini juga berpotensi memperburuk tingkat partisipasi pemilih. Pemilih yang kehilangan kandidat pilihannya bisa merasa frustrasi dan memutuskan untuk tidak menggunakan hak suaranya.
Dalam jangka panjang, kondisi ini dapat menurunkan legitimasi pemimpin yang terpilih dan semakin mengikis kepercayaan masyarakat terhadap sistem demokrasi.
Agar peristiwa serupa tidak terulang di masa mendatang, partai politik harus lebih bertanggung jawab dalam menyaring calon yang mereka usung. Seleksi yang ketat, berbasis pada rekam jejak dan kompetensi, harus menjadi prioritas utama.
Selain itu, lembaga penyelenggara pemilu perlu memperkuat sistem pengawasan sejak awal agar regulasi dapat ditegakkan secara adil dan transparan.
Pilkada 2024 menjadi cerminan bagaimana demokrasi di Indonesia diuji. Diskualifikasi calon kepala daerah memang menjadi langkah hukum yang harus dihormati, tetapi juga harus diimbangi dengan proses politik yang lebih akuntabel dan transparan. Pada akhirnya, tujuan utama dari setiap pemilihan kepala daerah adalah menghasilkan pemimpin yang berintegritas dan mampu membawa perubahan nyata bagi masyarakat.***